Ibrahim Khawwas adalah seorang sufi yang hebat di kemudian
hari. Tujuannya mengisahkan kejadian ini adalah untuk menyadarkan konsep
kepatuhan seorang murid terhadap gurunya. Selama ini, kita terbiasa berpikir
bahwa orang-orang tertentu pasti tidak mungkin melakukan kesalahan atau cara
terbaik untuk menjadi murid yang baik adalah patuh buta terhadap gurunya.
Artinya, apapun yang diperintahkan oleh sang Guru harus dilaksanakan tanpa
banyak bertanya. Padahal, sebenarnya seorang guru tidak bermaksud untuk ‘disembah’
secara itu. Namun, seorang guru adalah seorang penuntun yang membawa kita untuk
mengenal Allah.
Yang dilatih oleh sang Guru kepada Ibrahim Khawwas tadi
bukanlah masalah kepatuhan buta. Sang Guru sedang mengajarkan prinsip bahwa di
mata Allah, tidak ada yang lebih unggul daripada manusia lain kecuali
orang-orang yang bertaqwa. Salah satu bukti ketaqwaan seorang hamba adalah
berbuat kepada sesama tanpa mengenal pamrih atau batasan dalam hal apapun.
Seperti yang dilakukan sang Guru untuk melindungi Ibrahim dari hujan atau mengumpulkan
kayu bakar demi dirinya.
Sang Guru juga menyadarkan Ibrahim, kalau hanya berpikir
masalah kepatuhan buta, itu sama saja dengan seorang yang hanya menyanjung
seorang yang terlihat bertaqwa dan mencela seorang yang terlihat ‘menghina
Tuhan’. Dalam kisah Al-Hallaj, ia secara ekstem mengatakam,”Dalam agama Tuhan
aku telah kafir. Tetapi, bagiku kekafiran ini adalah kewajiban. Sekalipun bagi
Muslim aku adalah menjijikkan.”
Al-Hallaj sebenarnya tidak benar-benar kafir, ia hanya
meyindir orang-orang yang sebenarnya memuji seorang ulama secara berlebihan atau
seorang yang mengira bahwa seorang yang terlihat taqwa adalah seorang yang
dicintai oleh Allah dan mencoba mencari cara untuk menirunya. Padahal, tanpa
mencintai sesama, kemampuan tersebut tidak akan datang. Bahkan, orang-orang
yang hanya mencari kemampuan-kemampuan sekunder (mukjizat) selamanya akan
terselubung dari Allah.
0 comments:
Post a Comment
Thanks for your comments...