Akbar's Scratch

My photo
One of Indonesian people. A Moslem Doctor. My dreams is my adventures, and my adventures is my life.

Popular Posts

Categories

Blog Archive

Sajak Embun Hati


Bagi pikiranmu, aku gila

Bagi pikiranku, engkau semua bijak

Maka aku berdo’a untuk meningkatkan kegilaanku

Sekaligus meningkatkan kebijakanmu

‘Kegilaanku’ berasal dari kekuatan Cinta

‘Kebijakanmu’ berasal dari kekuatan ketidaksadaran

Buta mata hal yang biasa

Buta hati hal yang terkutuk

Ikuti kebijakan dengan hati dan keyakinan

Maka kau ‘kan temukan kebijakan yang hakiki

Hikmah Kisah 'Murid dan Pengabdian'

Ibrahim Khawwas adalah seorang sufi yang hebat di kemudian hari. Tujuannya mengisahkan kejadian ini adalah untuk menyadarkan konsep kepatuhan seorang murid terhadap gurunya. Selama ini, kita terbiasa berpikir bahwa orang-orang tertentu pasti tidak mungkin melakukan kesalahan atau cara terbaik untuk menjadi murid yang baik adalah patuh buta terhadap gurunya. Artinya, apapun yang diperintahkan oleh sang Guru harus dilaksanakan tanpa banyak bertanya. Padahal, sebenarnya seorang guru tidak bermaksud untuk ‘disembah’ secara itu. Namun, seorang guru adalah seorang penuntun yang membawa kita untuk mengenal Allah.

Yang dilatih oleh sang Guru kepada Ibrahim Khawwas tadi bukanlah masalah kepatuhan buta. Sang Guru sedang mengajarkan prinsip bahwa di mata Allah, tidak ada yang lebih unggul daripada manusia lain kecuali orang-orang yang bertaqwa. Salah satu bukti ketaqwaan seorang hamba adalah berbuat kepada sesama tanpa mengenal pamrih atau batasan dalam hal apapun. Seperti yang dilakukan sang Guru untuk melindungi Ibrahim dari hujan atau mengumpulkan kayu bakar demi dirinya.
Sang Guru juga menyadarkan Ibrahim, kalau hanya berpikir masalah kepatuhan buta, itu sama saja dengan seorang yang hanya menyanjung seorang yang terlihat bertaqwa dan mencela seorang yang terlihat ‘menghina Tuhan’. Dalam kisah Al-Hallaj, ia secara ekstem mengatakam,”Dalam agama Tuhan aku telah kafir. Tetapi, bagiku kekafiran ini adalah kewajiban. Sekalipun bagi Muslim aku adalah menjijikkan.”

Al-Hallaj sebenarnya tidak benar-benar kafir, ia hanya meyindir orang-orang yang sebenarnya memuji seorang ulama secara berlebihan atau seorang yang mengira bahwa seorang yang terlihat taqwa adalah seorang yang dicintai oleh Allah dan mencoba mencari cara untuk menirunya. Padahal, tanpa mencintai sesama, kemampuan tersebut tidak akan datang. Bahkan, orang-orang yang hanya mencari kemampuan-kemampuan sekunder (mukjizat) selamanya akan terselubung dari Allah.

Murid dan Pengabdian

Alkisah, ketika Ibrahim Khawwas masih muda, ia ingin mengikuti seorang guru. Ia pun menemui salah seorang bijak agar diperbolehkan menjadi muridnya. 

Sang Bijak berkata,”Kau belum siap.”

Ibrahim Khawwas pantang menyerah dan tetap ngotot ingin menjadi murid dari sang Bijak itu.

Akhirnya sang Bijak itu berkata,”Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah ke Mekkah. Kau ikut denganku.”

Ibrahim Khawwas sangat gembira karena pengabdiannya diterima.

“Nah, anak muda, karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang dari kita harus menjadi pemimpin. Kau pilih menjadi apa?,” kata sang Guru.

“Saya pengikut saja, Guru yang memimpin,” kata Ibrahim tanpa pikir panjang.

“Tentu saja aku akan menjadi pemimpin dari perjalanan ini, asal kau tahu bagaimana menjadi pengikut yang baik,” kata sang Guru.

Perjalanan dimulai. Suatu malam, ketika mereka beristirahat di padang pasir Hejaz, hujan turun. Sang Guru bangkit, memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari basah kuyup.

“Seharusnya saya yang melakukan itu, Guru,” kata Ibrahim.

“Kuperintahkan agar kau memperbolehkan aku untuk melindungimu. Bukankah tugas seorang pengikut adalah mematuhi perintah gurunya?,” sahut sang Guru.

Siang harinya, setelah merenungkan kejadian semalam Ibrahim Khawwas berkata,”Sekarang sudah tiba hari baru. Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin dan  Guru mengikuti perintah saya.”
Sang Guru mengiyakan hal tersebut.

“Baiklah, saya akan mengumpulkan kayu untuk membuat api unggun.” Kata Ibrahim.

“Kau tidak boleh melakukan hal itu. Aku yang akan melakukannya.” jawab sang Guru.

“Saya memerintahkan Guru untuk duduk sementara saya mencari kayu untuk membuat api unggun!” kata Ibrahim agak sengit.

“Kau tak boleh melakukan hal itu, sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid. Pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya.” Kata sang Guru.

Sepanjang perjalanan, Ibrahim Khawwas benar-benar ‘dipermalukan’. Setiap saat, sang Guru menunjukkan kepadanya apa makna sebenarnya menjadi murid melalui pengalaman langsung. Akhirnya, Ibrahim Khawwas dan sang Guru berpisah di gerbang Mekkah. Ketika perpisahan itu, Ibrahim hanya bisa menunduk dan tak berani menatap mata sang Guru.


“Yang kau pelajari itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan apa yang kau sebut murid dan pengabdian,” kata sang Guru.

My Other Site

You're Trespasser Number:

CHAT WITH ME?

TRANSLATE

English French German Spain

Italian Dutch Russian Brazil

Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
free counters
IP